Minggu, 17 Agustus 2014

[Book Review] H.I.V.E 2: OVERLORD PROTOCOL

Judul: H.I.V.E 2: Overlord Protocol
Penulis: Mark Walden
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Maret 2014
Tebal: 469 Halaman
ISBN: 978-979-433-714-1
Harga: Rp 59.000,-
Bintang: ★★★★

Keinginan Otto Malpense untuk melarikan diri dari H.I.V.E kini harus dipendam sementara waktu. Bukan karena pengawasan super ketat dari staf keamanan, karena yakinlah, meloloskan diri dari mereka sama mudahnya dengan memancing ikan di akuarium bagi Otto. Melainkan karena ikrar janji yang diucapkan Otto di hadapan sahabanya, Wing Fanchu, untuk terus bertahan hingga mereka mendapatkan penjelasan masuk akal mengenai amulet di dada Dr.Nero. Benda itu menjadi penting karena separuh bagian dari amulet tersebut ada pada Wing. Dan setahu Wing, kalau sampai ada seseorang yang menyimpan bagian lain dari amulet tersebut maka bisa jadi orang tersebut turut bertanggung jawab atas kematian ibunya. Lantas, benarkah Dr.Nero merupakan sosok itu?
Di tengah kebingungan tersebut, datang kabar kematian ayah Wing. Membuat Wing –dan tentunya Otto– diizinkan untuk meninggalkan H.I.V.E guna menghadiri pemakamannya. Sayang, hal itu malah menyeret mereka ke lubang jebakan. Cypher, salah satu penjahat terkemuka di organisasi G.L.O.V.E berencana menguak rahasia Protokol Overlord, sebuah alat yang membuat siapa pun dapat menguasai dunia. Dan menyingkirkan keberadaan Wing dan Otto merupakan awal dari semua rencana itu.
Ketika menyadarinya, Otto hanya memiliki waktu 24 jam untuk membalik keadaan. Menemukan sarang musuh, menebak detail rencana Cypher, menguak alasan mengapa Protokol Overlord begitu dilarang, sekaligus mencari tahu rahasia yang tersimpan di balik keterkaitan amulet Wing dan Dr.Nero. Otto Malpense memang dididik untuk menjadi penjahat. Namun tak ada salahnya bukan menghabisi penjahat lain? Atau, dunia akan berubah selamanya…
(^^)
Ini buku kedua dari seri H.I.V.E yang saya baca. Mengingat track record buku pertama yang lumayan apik, maka tak salah rasanya jika saya menaruh banyak harapan dalam novel ini. Dan syukurnya, Mark Walden sekali lagi berhasil memenuhi ekspetasi tersebut. Ia sukses menghadirkan cerita yang jauh lebih memukau dibanding buku pertama. Aksi-aksi meloloskan diri dari kematian seakan menjadi hal yang begitu biasa dalam buku kedua serial H.I.V.E ini. Huft, seakan menyaksikan film penuh adrenalin nih…^^
Jika di buku pertama, setting cerita lebih banyak berlangsung di dalam komplek H.I.V.E, maka lain halnya dengan di buku kedua ini. Karena H.I.V.E 2: Overlord Protocol menyuguhkan bermacam-macam latar dalam setiap alurnya. Ada di pusat kota, pelabuhan, hutan, gua bawah tanah, hingga apartemen mewah di kota Tokyo. Dan itu semua berada di luar kawasan ‘Gunung Berapi’ tempat H.I.V.E berada. Sehingga imajinasi pembaca tidak lantas terkekang begitu sempit dengan hanya terfokus pada gedung sekolahan. 
Dalam buku kedua ini pula, Mark Walden mengupas lebih banyak sisi-sisi kemanusiaan dari Dr.Nero dan Raven. Menghilangkan kesan ‘penjahat kejam’ yang mulai melekat pada mereka di buku pertama. Sekaligus menjawab rasa penasaran pembaca yang bisa jadi berpikiran semacam ini, ‘Kok bisa para penjahat memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia pendidikan?’ Disamping itu juga memunculkan nilai moral bahwa setiap orang memiliki sisi kebaikan, sekalipun ia seorang penjahat. Yah, mungkin terkesan subjektif. Karena saya akui jika dalam serial H.I.V.E ini saya diharuskan memakai sudut pandang tokoh utama sebagai penjahat, yang mana itu berarti bahwa semua tindak tanduk mereka selalu akan terlihat sebagai suatu kebaikan dalam kacamata pembesar sudut pandang saya. Tapi oke-oke aja sih…
Meski demikian, buku ini tak lantas lepas dari kritik begitu saja. Semenjak serial pertama H.I.V.E saya selalu bertanya-tanya mengapa yang senantiasa ditonjolkan hanya beberapa murid saja? Paling banter hanya Otto, Wing, Laura, Shelby, Nigel, Franz, Block, serta Tackle. Enam diantara mereka berasal dari Program Alpha, sedang Block dan Tackle dari Program Henchman. Dan setahu saya, tidak ada satupun nama murid lainnya yang diungkit selain mereka semenjak buku pertama. Boro-boro siswa Program Politik/Ekonomi bakal diceritakan, lha wong Program Alpha yang memiliki lebih dari 150 pelajar saja banyak yang terlupakan. Padahal H.I.V.E adalah lingkungan persekolahan wajib asrama selama 6 tahun, dimana tentunya sosialisasi merupakan satu kebutuhan lazim bagi setiap penghuninya. Bagaimana mungkin selama setahun, mereka hanya berkenalan dengan 6 hingga 8 orang teman saja?    
Meski serial ini mengambil judul Higher Institute of Villainous Education –yang berarti Sekolah Tinggi Ilmu Kejahatan–, namun cerita yang ditampilkan lebih banyak terfokus pada hal-hal di luar dunia pendidikan. Sentral cerita cenderung ada pada tokoh Otto Malpense, dan bukan sekolahan itu sendiri. Jarang saya dapati, deskripsi mengenai kehidupan normal seorang pelajar. Seperti kondisi kegiatan belajar-mengajar, proses penggarapan berbagai tugas asrama, latihan-latihan pribadi setiap siswa guna mengasah kemampuan mereka masing-masing, dan lain sebagainya. Adanya malah cerita seputar aksi heroik Otto dan kawan-kawannya. Dan parahnya, itu menempati seluruh porsi buku. Disini kita hanya akan disuguhkan berbagai tindakan Otto sebagai pahlawan jenius, dan bukan selaku pelajar biasa. 
Oke, meski demikian, saya tetap berpikir bahwa novel ini begitu luar biasa. 4 dari 5 bintang yang ada. Rekomendasi saya untuk buku kedua serial H.I.V.E ini ialah para pembaca yang haus dengan aksi-aksi menegangkan nan memacu adrenalin. Dengan syarat, mereka sanggup memainkan imajinasi mereka, agar setiap kata-kata yang dibaca bisa ter-visualisai-kan layaknya sebuah film layar lebar. ^^
 









Kamis, 24 Juli 2014

[Book Review] ARTEMIS FOWL: Manusia Jenius vs Kaum Mutakhir

Judul: Artemis Fowl
Penulis: Eoin Colfer
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Mei 2005 (Cetakan Dua)
Tebal: 336 Halaman
ISBN: 979-22-0961-1
 Harga: Rp 40.000,-
Bintang: ★★★★★


“If I win, I'm a prodigy. If I lose, then I'm crazy. That's the way history is written.”

Rencana Artemis Fowl jelas bukan sembarang rencana. Ia berambisi untuk memulihkan kembali kejayaan keluarga yang semakin menyusut semenjak kematian ayahanya. Dan hanya ada satu solusi singkat untuk itu: mencuri. Bukan sekedar merampok atau mencuri bank biasa. Karena percayalah, itu terlalu mudah bagi kejeniusan otaknya. Lagipula, hasil ‘pekerjaan’ itu masih terlalu sedikit untuk bisa menggenapi tujuan Artemis. Tidak, tidak, tidak. Ia akan menyiapkan rencana yang jauh lebih brilian. Ia berencana mencuri emas kaum peri!  

Benarkah kehidupan peri itu nyata adanya? Artemis Fowl terlalu cerdas untuk sekedar terjebak dalam pertanyaan bodoh semacam itu. Ia dan Butler –pengawal yang lebih cocok terlihat sebagai ayahnya- telah menginjakkan kaki di empat benua berbeda demi mengendus informasi terpercaya mengenai keberadaan para peri. Semua mengecewakan, kecuali satu: Ho Chi Minh City, Vietnam. 

Oh kawan, Anda salah besar jika menganggap para peri akan memberikan begitu saja emas mereka seperti dalam berbagai dongeng klasik. Nyatanya, peri-peri yang dihadapi Artemis Fowl merupakan sekumpulan masyarakat berteknologi mutakhir. Peradaban mereka jauh di atas manusia. Mereka berbahaya dan bersenjata. Dan yang terpenting, mereka bersedia melakukan apa saja untuk membebaskan kawan mereka yang ditawan oleh Artemis Fowl.

Namun ingat ini baik-baik, Artemis Fowl memang baru berusia 12 tahun. Tapi ia sudah bertekad akan menjadi pencuri emas lintas spesies pertama yang ada. Dan sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, kegagalan menghalangi seorang Artemis dari mewujudkan tekadnya itu, sesulit apapun rintangan yang menghadang. Jadi, siapa yang akan menang? Si manusia jenius atau makhluk berperadaban mutakhir?

(^^)

Sempurna.

Itu kesan pertama kali yang saya dapati seusai rampung membaca novel ini. Eoin Colfer berhasil menghadirkan sebuah alur cerita yang menarik dan di luar dugaan. Kehidupan para peri, yang biasa dikaitkan dengan dongeng klasik ala Walt Disney, berhasil dipermak menjadi sebuah kaum berperadaban luar biasa modern. Bahkan jauh meninggalkan peradaban manusia 100 tahun di belakang. Disebutkan, mereka telah menguasai teknologi dari berbagai senjata yang selama ini menjadi mimpi penghias tidur manusia. Mulai perisai yang membuat mereka tersamarkan dari mata telanjang, medan waktu yang sanggup mengisolasi suatu daerah selama 8 jam, senapan-senapan kejut bertenaga baterai mini nuklir, hingga bom biologi yang hanya akan membunuh makluk hidup tanpa merusak properti lain sedikitpun. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang mendambakan sebuah penyegaran dalam kisah-kisah para peri. 

Artemis Fowl, meskipun dimunculkan sebagai tokoh antagonis, berhasil menjadi pusat cerita yang cukup unik. Bisa dibilang ia meruapakan versi modern dari Sherlock Holmes dan Profesor Moriety yang digabungkan dalam satu tubuh. Kejeniusannya membuat ia senantiasa berada satu langkah di depan lawan. Ibarat permainan catur, maka Artemis Fowl memainkan bidak putih sekaligus bidak hitam secara bersamaan. Musuhnya –dalam hal ini berarti kaum peri-hanya bisa mengikuti arus permainan yang telah diprediksi oleh Artemis jauh-jauh hari. 

Namun, satu hal yang saya salut, Eoin Colfer tidak melupakan begitu saja sisi kanak-kanak dari seorang Artemis Fowl. Sejenius apapun dia, Artemis tetap saja masih berusia 12 tahun. Ada beberapa bagian di novel ini yang menunjukkan secara jelas akan hal itu. Seperti saat Artemis merindukan ayahnya yang tak kunjung ditemukan setelah kecelakaan kapalnya. Atau ketika Artemis begitu khawatir dengan kondisi ibunya yang semakin labil semenjak sang suami hilang. Atau pula saat Artemis merasa kesepian akibat kurangnya asupan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Dan masih banyak lagi. Itu semua menumbuhkan nilai moral bagi pembaca bahwa masa kanak-kanak tetaplah merupakan masa kanak-kanak. Seberapa kuat, jenius, hebat, kaya seorang anak, tetap saja dia masih membutuhkan belaian kasih sayang dari orang tuanya. ^^

Semua perpaduan itu –tentunya masih ditambah dengan beberapa aspek yang tak saya sebutkan secara spesifik di review ini- membuat saya berani mengatakan bahwa novel ini begitu sempurna. Begitu seimbang. Begitu menghibur. Sekaligus begitu menegangkan. Five Stars, guys!




















Jumat, 11 Juli 2014

[Book Review] H.I.V.E (1): Higher Institute of Villainous Education

Judul: H.I.V.E: Higher Institute of Villainous Education
Penulis: Mark Walden
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Maret 2014 (Cetakan Kedua)
Tebal: 394 Halaman
ISBN: 978-979-433-713-4
 Harga: Rp 59.000,-
Bintang: ★★★★


I'm sure that there must have been times when you have read books or watched films and found yourself secretly wishing for the villain to win. Why? Isn't that against the rules by which our society lives? Why should you feel this way? It's simple, really; the villain is the true hero of these tales, not the well-intentioned moron who somehow foils their diabolical scheme. The villain get's all the best lines, has the best costumes, has unlimited power and wealth- why on earth would anyone not want to be the villain?

Sekolah penjahat? Serius ada, nih? Yup! Higher Institute of Villainous Education (H.I.V.E) adalah sekolah yang khusus diperuntukkan bagi bakat-bakat alami penjahat dunia. Mereka diseleksi dengan sedemikian ketat, lalu dibawa secara paksa (baca: diculik) ke fasilitas H.I.V.E yang terletak dalam sebuah gunung berapi aktif di pulau terpencil di tengah lautan antah-berantah. Disana mereka akan dibekali lebih lanjut dengan berbagai pelatihan yang akan bermanfaat dalam karir kejahatan mereka di masa mendatang. 

Tertarik? Otto Malpense jelas tidak. Dipaksa tinggal selama 6 tahun untuk mempelajari keahlian-keahlian yang telah dikuasai semanjak kecil, jelas merupakan suatu kesia-siaan baginya. Jangan salah, di usia semuda itu, Otto sudah pernah menggulingkan satu pemerintahan sah dengan cara yang tak akan pernah bisa dibayangkan oleh orang dewasa manapun. Dia bukan hanya jenius, melainkan super-super-super-jenius! Otaknya seperti spons yang mampu menyerap berbagai pengetahuan dari buku-buku setebal ratusan halaman secara singkat. Maka, hanya ada satu hal yang dipikirkan Otto semenjak menginjakkan kaki di H.I.V.E: Kabur!
(^^)

Awalnya, saya skeptis dengan buku satu ini. Karena di front cover-nya terpampang tulisan, ‘Hogwarts untuk penjahat…namun tanpa sihir’. Membaca kata ‘Hogwarts’ membuat benak saya terpacu ke kenangan akan Harry Potter series. Jadilah, saya mengira novel ini adalah bacaan yang memanfaatkan ketenaran karya J.K Rowling itu untuk membangun citra di mata pembaca. Eh, ternyata salah besar. *tutup muka pake sarung*

Memang, ada beberapa aspek yang lumayan serupa dengan buku Harry Potter. Dua diantaranya ialah konsep kehidupan Otto dan kawan-kawan yang terfokus di H.I.V.E (kalau Harry di Hogwarts) dan pembagian bakat siswa H.I.V.E yang dibedakan menjadi 4 kelas dari Alpha, Henchman, Teknik, dan Politik/Ekonomi (di Harry Potter juga ada 4: Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin). Namun cuma sampai disitu persamaan diantara keduanya. Selanjutnya, cerita berkembang menurut jalurnya sendiri-sendiri. Harry Potter serius mempersiapkan dirinya guna melawan Voldemort, sedang Otto Malpense fokus pada aksi ‘gila’-nya untuk kabur dari H.I.V.E.

Novel ini termasuk salah satu karya yang mengambil sudut pandang pelaku utama sebagai penjahat. Karena H.I.V.E adalah sekolah para penjahat terbaik di dunia sekaligus komponen dari organisasi kejahatan terbesar di dunia bernama G.L.O.V.E, sedang Otto Malpense merupakan satu bagian dari itu semua. Nah, terkadang di tengah-tengah keasyikan membacanya, saya lantas mencoba mendefinisikan ulang arti dari kata kejahatan. Menilai-nilai apakah yang dilakukan Otto saat memanipulasi beberapa kontraktor demi memperbaiki panti asuhannya termasuk sebuah kejahatan meski bertujuan baik? Menimbang apakah yang dilakukan Dr.Nero dengan mengurung semua siswa selama 6 tahun tanpa diperbolehkan bertemu dengan sanak famili di luar termasuk kebaikan yang dipaksakan atau bukan. Lantas, kabur dari hal semacam itu meski dilandasi dengan tujuan yang kurang tepat (karena Otto merasa bisa melakukan hal-hal yang lebih jahat di luar sana) juga lantas disebut sebagai kejahatan? 

Anggapan seperti di atas tadi menimbulkan warna abu-abu dalam menentukan mana tokoh protagonis dan mana tokoh antagonis. Semua lakon bisa saja menjadi keduanya tergantung dari sudut mana kita menilainya. Otto, meskipun dia lakon utama, bisa berada di pihak jahat saat ia menggulingkan perdana menteri negaranya dengan cara yang bisa dibilang cukup ‘keji’. Sebaliknya, kepedulian dia dalam menyelamatkan sekolah di bagian akhir novel juga dapat menggolongkannya sebagai tokoh protagonis, lho. Demikian pula dengan karakter abu-abu lainnya semacam Raven, Dr.Nero, dll. Bingung? Pastinya. Tapi mustahil Anda akan memikirkan detail semacam ini saat sedang asyik menikmati aliran alurnya, bukan? 

Secara keseluruhan saya tetap senang menikmati cerita dari novel ini, kok. Meski ending-nya sedikit menyimpang dari tujuan Otto semula, tetap saja novel ini berhasil menghadirkan ketegangan-ketegangan yang membuat pembaca semakin antusias. Rekomendasi bagi Anda yang menyukai cerita-cerita melarikan diri dari lokasi berpengaman ketat layaknya film ‘Escape Plan’ baru-baru ini! Empat bintang buat H.I.V.E 1 ini!

Senin, 07 Juli 2014

[Book Review] THE NAKED TRAVELER: Catatan Gokil Seorang Trinity

Judul: The Naked Traveler 1
Penulis: Trinity
Penerbit: c | Publishing (Bentang Pustaka)
Tahun Terbit: Januari 2012 (Cetakan ke-21)
Tebal: 282 Halaman
ISBN: 978-979-24-3963-6
Harga: Rp 44.500,-
Bintang: ★★★★


Teori-teorian bodoh yang saya simpulkan sendiri dari hasil pengamatan selama traveling adalah semakin jauh letak suatu negara khatulistiwa, semakin cepat orang di negara tersebut berjalan. Logikanya, semakin jauh dari kahtulistiwa maka negara tersebut pasti dingin sehingga orang akan berjalan lebih cepat supaya tidak kedinginan. Perhatikan orang Indonesia, mana ada orang yang berjalan cepat?”

Ada banyak kisah menarik yang dituturkan dengan gaya bahasa yang santai dan ringan oleh Trinity dalam buku ini. Lucu, sedih, mendebarkan, bahkan menyebalkan. Semua itu menjadi bumbu sedap dalam pengalamannya menjadi ‘Backpacker’ yang melanglang buana ke berbagai tempat, baik di dalam maupun diluar negeri.

Membaca buku ini, kita akan memperoleh bermacam informasi tentang kebudayaan berbagai bangsa yang unik, tempat-tempat yang "harus" dikunjungi atau dihindari, serta tips dan trik saat travelling ke sebuah negeri. Pada akhirnya, setelah menutup buku ini, bisa jadi kita semakin mencintai negeri sendiri.
Happy Traveling!

 (^^)

Saya masih benar-benar ingat, momen ketika memutuskan membeli buku ini. Sekitar pertengahan tahun lalu, sebelum saya menceburkan diri dalam sebuah petualangan nekat –kalau tidak dibilang gila– mengelilingi Pulau Jawa seorang diri dengan bermodal minim. Niatan awalnya hanya sekedar membeli untuk menemani perjalanan. Karena saya kira dengan membeli karya Trinity ini, semangat traveling saya dapat terus terjaga. Secara, membaca kisah-kisah petualangan dari para senior backpacker, kan bisa memicu semangat untuk melakukan hal-hal yang serupa. Eh, ternyata hingga perjalanan usai, saya masih belum kelar menamatkannya. Bahkan, hingga setahun kemudian saya juga tetap belum selesai membaca. Keberadaannya sering tergantikan seiring bertambahnya tinggi timbunan saya. Hingga, beberapa hari yang lalu saya mengambil kembali buku ini, dan bertekad harus merampungkannya apapun yang terjadi *ngencangin ikat kepala*. Alhamdulillah, selang 3 hari kemudian tujuan itu tercapai. Menimbulkan sedikit penyesalan dalam diri saya, ‘Kok gak dari dulu saya tamatin buku ini?’. Tapi udahlah, saya tetap senang kok pada akhirnya masih bisa merampungkan bacaan satu ini (meski telat…x_x)

Selera humor Trinity yang dituangkan dalam tulisan buku ini menimbulkan sensasi menarik diantara setiap kisah petualangannya. Sama sekali tak terkesan menggurui. Bagi saya, Trinity hanya sekedar ingin sharing pengalaman dengan para pembacanya. Berbagi cerita-cerita menarik saat bersua dengan orang-orang dan kebudayaan asing. Tak jarang membuat saya ngakak gak karuan di tengah-tengah asyik membaca. 

Dalam The Naked Traveler 1, Trinity memutuskan untuk bercerita secara random pengalaman-pengalamanya ketika melanglang buana ke belahan dunia bumi lain. Tidak lantas terfokus dengan  beberapa negara yang dilewatinya dalam satu kurun waktu saja. Mungkin salah satu penyebanya karena penulis telah melakukan begitu banyak traveling berdurasi singkat dalam waktu berpuluh-puluh tahun. Terlalu sulit bukan untuk mengumpulkan ingatan mengenai pengalaman unik bertahun-tahun lalu? Dan menurut saya, pemilihan gaya seperti itu menyimpan beberapa kelebihan. Seperti, cerita-cerita yang dipublikasikan pastinya merupakan yang terbaik, terunik, terlucu, dan tidak terlupakan. Sehingga benak pembaca tak perlu direcoki dengan pengalaman-pengalaman mainstream nan membosankan. 

Buku ini juga banyak menampilkan tips & tricks handal seputar dunia traveling bagi para pembacanya. Pastinya bermanfaat mengingat dalam backpacker pengalaman dan intuisi adalah segalanya. Setidaknya, tips & tricks dari Trinity ini dapat membantu kita agar tak terjerumus ke lubang permasalahan yang sama, sekaligus meminimalisir kekagetan kita saat menemui hal-hal serupa.

Saya akui jika buku berisi petualangan Trinity ini memang luar biasa menarik. Tapi masih ada beberapa kekurangan yang menjadi catatan tersendiri bagi saya. Setelah kelar membaca, saya lantas bertanya-tanya apa tujuan sebenarnya dari seorang Trinity ketika memutuskan bertualang ke suatu tempat. Sekedar having fun semata? Atau mengamati kehidupan masyarakat luar Jakarta? Atau apa? Karena yang saya dapatkan setelah menutup buku ini hanyalah cerita-cerita unik seputar perjalanannya. Memang menghibur. Memang lucu. Namun tidak ada pelajaran-pelajaran moral yang akan menambah pemahaman kita akan hakikat traveling itu sendiri. Tidak ada hikmah yang akan merubah cara pandang kita terhadap negara ini. Tidak ada pesan-pesan pembaharuan yang cukup bagus untuk diterapkan bersama demi kemajuan bangsa kita. Bahasa sederhananya: kurang filosofis, kurang mendalami makna perjalanan yang dilalui.

Selain itu, saya juga kurang sependapat dengan beberapa perilaku Trinity. Salah satu contoh ialah kebiasaannya merokok. Bukan karena dia wanita, karena percayalah, saya benci mati dengan semua perokok baik laki-laki maupun perempuan. Merokok jelas membahayakan kesehatan, dan saya kurang setuju apabila Trinity lantas mengumbar –secara tidak langsung juga menyarankan– hobi merokonya tersebut di hadapan para pembaca. Contoh lain yang saya kurang sependapat ialah kebiasaan-kebiasaan hedonis sang penulis seperti nongkrong di pub, club, diskotek, –atau apalah namanya–, lantas bermabuk-mabukkan hingga dini hari. Bagi saya perbuatan tersebut termasuk menghambur-hamburkan uang secara berlebihan. Rasanya lebih bijak apabila menggunakannya untuk kegiatan-kegiatan sosial atau kebaikan-kebaikan bermanfaat lainnya.

Terlepas dari itu semua, saya tetap salut kok dengan keberadaan buku ini. Saya salut dengan keberanian Trinity sebagai solo traveler dalam menjelajahi berbagai negara. Lebih-lebih ketika mengingat dirinya merupakan seorang perempuan. At last, buku ini saya rekomendasikan kepada teman-teman yang sedang atau hendak menempuh perjalanan sebagai tambahan motivator semangat. Juga turut saya rekomendasikan kepada orang-orang yang ingin mengenal lebih jauh aroma-aroma petualangan dalam dunia traveling. Tertarik membaca, gak?^^ 

Kamis, 03 Juli 2014

[Book Review] PACARKU JUNIORKU

Judul: Pacarku Juniorku
Penulis: Valleria Verawati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Agustus 2007
Tebal: 208 Halaman
ISBN:979-22-3153-6
 Harga: Rp 29.000,-
Bintang: ★★★


 Jika seseorang yang Oom percaya dan cintai mengkhianati Oom, apa yang akan Oom lakukan?”
“Tentu saja Oom akan marah,” jawab Oom Frans. “Tapi dalam cinta selalu ada maaf yang tiada batasnya. Dan itu pula yang akan Oom lakukan.” (Hal 84)

Galak, judes, ceplas-ceplos, tapi bisa jadi Ketua OSIS. Itulah Bia. Di tahun ketiganya di SMA Constantine 4 dia bertemu dengan Juventus Egi, siswa baru yang kebetulan di-MOS-i oleh Bia dan teman-temannya. Di pertemuan-pertemuan awal, Bia udah benci setengah ampun dengan anak ini. Satu, karena Egi itu unik sekaligus aneh. Dua, dia memiliki kecenderungan untuk melawan perintah seniornya. Tiga, tampang innocent-nya yang bikin orang-orang di sekelilingnya ngakak gak karuan pas ngliatnya. Empat, dan ini yang paling buat Bia kesal, ialah karena Egi berani mengutarakan cintanya kepada sang Ketua OSIS di hadapan seluruh penghuni sekolah! Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali!  

Padahal, Bia itu anti banget dengan yang namanya cowok. Buat dia, semua cowok itu gak punya komitmen yang pantas. Habis sepah manis dibuang. Bosan di satu tempat, tinggal minggat begitu aja. Pengalaman Ibunya yang pernah ditelantarkan suaminya –sekaligus bapak Bia- membuat Bia paham betul dengan sifat bejat laki-laki. 

Tau-tau si Egi nongol dalam kehidupan damai Bia! Meski udah ditolak berkali-kali dengan penuh judes, si doi tetap aja gak menyerah. Egi tetap yakin, bahwa suatu saat nanti dia akan mampu meluruhkan hati Bia. Hadeh, emang urat sabar tuh anak setebal apa sih?

(^^)

Ini novel pertama yang berhasil saya tamatkan dalam kurun waktu 1,5 jam. Sungguh! Merelakan waktu tidur alias begadang hingga jauh melewati pertengahan malam. Walau saya akui, bila keesokan harinya saya harus recovery selama 3 jam lebih, -_-. (*tepok jidat)

Gaya bercerita yang super teen-lit memudahkan saya dalam mencerna seluruh alur yang dihadirkan penulis (*secara, saya kan masih termasuk kawula brondong muda, gitu^^). Juga ada rasa humor yang begitu khas menghiasi di tiap lembaran bukunya. Bukan cuma muncul dari penggambaran penulis saja, namun juga berasal dari karakter tiap lakon yang terkesan ‘antik’. Egi dengan tampang blo’on-nya, celetukan-celetukan ringan Yuki, berikut kejudesan Bia saat berurusan dengan segala hal terkait Egi. Jadi bikin saya sering ketawa ngakak pas asyik-asyiknya baca. Padahal lagi tengah malam, tuh. Hahaha (bukan, saya bukan orang gilaaaa…-_-)

Kalau boleh, saya ingin menyuarakan dukungan untuk kejudesan Bia terhadap tindak-tanduk Egi yang saya nilai terlalu berlebihan. Bayangin aja si Egi bikin pertunjukan dangdut di lapangan sekolah, dengan ber-panggung-kan sebuah meja, ber-mik-an TOA, dan ditonton seisi sekolahan. Di akhir momen, dia lantas berlutut di hadapan Bia –tentunya masih disaksikan anak-anak dari kelas X hingga XII- meminta kesediaannya untuk menjadi pacar Egi. Iiiih, sontak aja Bia merasa jijik dengan itu semua. Termasuk saya yang membacanya. Mungkin karena saya bukan tipe-tipe orang yang terlalu romatis, sih. Menurut saya, masih ada beribu cara lain yang tentunya lebih elegan dalam melarutkan hati seorang wanita. Itu saya, lhooo…^^

Meskipun judulnya adalah Pacarku Juniorku, namun saya menangkap kesan jika cerita dalam novel ini tak hanya terfokus pada kisah cinta antara Bia dan Egi saja. Bahkan kalau dihitung-hitung, porsi keseluruhan cerita mengenai hal tersebut hanya 50-60% lah. Emosi pembaca akan lebih banyak diaduk-aduk saat melewati bagian dimana kehidupan keluarga Bia dibahas. Betapa ternyata kebencian Bia terhadap semua spesies laki-laki berawal dari trauma masa kecilnya saat ditinggal sang Papa, meninggalkan dia dan Ibunya, dan menyisakan gelar ‘Anak Haram’ hingga Bia dewasa sekalipun. Pokoknya, disitu rasa kepedulian kita terhadap anak-anak seperti Bia bakal tumbuh tanpa bisa ditahan, deh!

Novel ini saya rekomendasikan bagi mereka yang merasa jenuh terhadap kehidupan SMA-nya yang biasa-biasa saja, atau kepada mereka yang baru saja mengalami gangguan hubungan cinta, tanpa perlu merasa pusing dengan alur cerita buku yang dibaca. Saya jamin, ringan dan menghibur, kok!

Senin, 30 Juni 2014

[Book Review] CODEX: Seberbahaya Apa Makanan Kita?

Judul: Codex
Penulis: Rizki Ridyasmara
Penerbit: Salsabila (Pustaka Kautsar)
Tahun Terbit: Nopember 2010 (Cetakan Kedua)
Tebal: 434 Halaman
ISBN: 978-979-19163-5-6
 Harga: Rp 45.000,-
Bintang: ★★★★


Que sera sera! Apa yang akan terjadi, maka terjadilah!” (hal.60)

Sebuah microchip berisi data-data rahasia milik CIA dan Pentagon menyeret seorang saintis Italia bernama Alda Adriana dalam alur konspirasi yang pelik nan berbahaya. Bersama George Marshall, mantan suami Alda sekaligus pensiunan pasukan elit Australia, keduanya berusaha melarikan diri dari orang-orang yang memburu mereka. Dalam pelarian mereka tersadar bahwa microchip yang mereka bawa bukan sekedar berisi informasi-informasi intelijen biasa. Ternyata, benda tersebut menyembunyikan berbagai kebusukan negara maju yang berusaha meracuni umat manusia secara perlahan melalui perantara makanan yang dikonsumsi. Semua itu dilakukan dengan dalih mengendalikan populasi umat manusia agar senantiasa selaras dengan kapasitas bumi. 

Apa yang dilakukan Alda dan George jelas telah membuat musuh mereka kebakaran jenggot. Pembunuh-pembunuh terbaik dari mafia La Camorra, mafia La Cosa Nostra, hingga CIA, diutus demi merebut kembali microchip tersebut sekaligus memastikan kematian keduanya. Sanggupkah mereka berdua bertahan dari kejaran dan menyebarkan informasi penting itu ke seluruh penjuru dunia? Novel yang akan mengubah pandangan hidup Anda agar lebih sehat dan waspada! 

(^-^) 

Applaus untuk Rizki Ridyasmara! Beliau berhasil mengkolaborasikan secara apik fakta-fakta ilmiah yang ada dan mengemasnya dalam sebuah cerita penuh ketegangan. Perasaan jenuh yang acapkali melingkupi benak saya saat membaca jurnal-jurnal ilmiah menguap begitu saja ketika membaca novel satu ini. Ilmu dapat, hiburan juga dapat. Hehehe….Lumayan, kan?^^

Novel ini memuat berbagai hasil penelitian ilmiah yang sengaja ditutupi dari publik. Karena jelas, industri Amerika dan Eropa bisa bangkrut seketika, apabila informasi se-sensitif itu diketahui masyarakat umum. Seperti, tahukah Anda jika vaksin, obat-obatan medis, pelbagai makanan dan minuman, ternyata disusupi RACUN yang sengaja dibuat untuk membunuh kita? Tahukah Anda, untuk menipu konsumen, MSG punya 20 nama yang berbeda? Atau, tahukah Anda jika virus HIV sengaja diciptakan untuk memusnahkan etnis asli Afrika? Dan masih ada begitu banyak hal-hal mencengangkan lainnya yang diangkat di buku ini. Dijamin membuat mata Anda terbelalak –kecuali jika Anda telah mengetahui terlebih dahulu– saat menyadari betapa mengerikannya bahan-bahan penyusun makanan yang selama ini akrab di keseharian kita. Semua itu dilengkapi dengan sumber-sumber terpecaya yang dapat ditelusuri kebenarannya melalui berbagai catatan kaki yang ada.  

Di samping itu, petualangan Alda dan George selama berada dalam kejaran juga patut untuk diberi applaus. Mulai dari butik-butik di Milan, lalu beranjak ke Kota Terapung Venesia,  kemudian ke villa mewah Profesor Contrado di Parma, hingga ‘pertarungan’ terakhir di San Marino. Semuanya dapat digambarkan dengan begitu jelas. Seakan-akan penulis memang turut terlibat langsung dalam setiap kejadiannya. Belum lagi berbagai rincian senjata-senjata dalam novel yang membantu para pembaca dalam memahami kondisi lapangan di setiap konflik. 

Satu catatan yang agak menganggu benak saya ialah, mengapa chip sepenting itu bisa melanglangbuana dari Langley, markas CIA, hingga sampai ke Italia? Harusnya kan, dokumen sepenting itu tidak diizinkan untuk dibawa keluar kantor. Bagaimana bisa CIA kecolongan dengan sebegitu mudah? Dan bagaimana detail kejadian sesungguhnya yang menimpa pemegang chip sebelum Alda Adriana? 

Pertanyaan di atas memang lumayan mengusik, namun terlepas dari itu, novel ini tetap saja berhasil memukau diri saya dengan berbagai pengetahuan dan petualangannya. Membuka cakrawala wawasan saya tentang betapa nyatanya program de-population manusia yang terjadi di sekitar saya. Juga membantu saya agar lebih berusaha keras dalam menciptakan kehidupan yang sehat sekaligus aman tentunya. Sekali lagi, applaus untuk Rizki Ridyasmara!