Minggu, 17 Agustus 2014

[Book Review] H.I.V.E 2: OVERLORD PROTOCOL

Judul: H.I.V.E 2: Overlord Protocol
Penulis: Mark Walden
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Maret 2014
Tebal: 469 Halaman
ISBN: 978-979-433-714-1
Harga: Rp 59.000,-
Bintang: ★★★★

Keinginan Otto Malpense untuk melarikan diri dari H.I.V.E kini harus dipendam sementara waktu. Bukan karena pengawasan super ketat dari staf keamanan, karena yakinlah, meloloskan diri dari mereka sama mudahnya dengan memancing ikan di akuarium bagi Otto. Melainkan karena ikrar janji yang diucapkan Otto di hadapan sahabanya, Wing Fanchu, untuk terus bertahan hingga mereka mendapatkan penjelasan masuk akal mengenai amulet di dada Dr.Nero. Benda itu menjadi penting karena separuh bagian dari amulet tersebut ada pada Wing. Dan setahu Wing, kalau sampai ada seseorang yang menyimpan bagian lain dari amulet tersebut maka bisa jadi orang tersebut turut bertanggung jawab atas kematian ibunya. Lantas, benarkah Dr.Nero merupakan sosok itu?
Di tengah kebingungan tersebut, datang kabar kematian ayah Wing. Membuat Wing –dan tentunya Otto– diizinkan untuk meninggalkan H.I.V.E guna menghadiri pemakamannya. Sayang, hal itu malah menyeret mereka ke lubang jebakan. Cypher, salah satu penjahat terkemuka di organisasi G.L.O.V.E berencana menguak rahasia Protokol Overlord, sebuah alat yang membuat siapa pun dapat menguasai dunia. Dan menyingkirkan keberadaan Wing dan Otto merupakan awal dari semua rencana itu.
Ketika menyadarinya, Otto hanya memiliki waktu 24 jam untuk membalik keadaan. Menemukan sarang musuh, menebak detail rencana Cypher, menguak alasan mengapa Protokol Overlord begitu dilarang, sekaligus mencari tahu rahasia yang tersimpan di balik keterkaitan amulet Wing dan Dr.Nero. Otto Malpense memang dididik untuk menjadi penjahat. Namun tak ada salahnya bukan menghabisi penjahat lain? Atau, dunia akan berubah selamanya…
(^^)
Ini buku kedua dari seri H.I.V.E yang saya baca. Mengingat track record buku pertama yang lumayan apik, maka tak salah rasanya jika saya menaruh banyak harapan dalam novel ini. Dan syukurnya, Mark Walden sekali lagi berhasil memenuhi ekspetasi tersebut. Ia sukses menghadirkan cerita yang jauh lebih memukau dibanding buku pertama. Aksi-aksi meloloskan diri dari kematian seakan menjadi hal yang begitu biasa dalam buku kedua serial H.I.V.E ini. Huft, seakan menyaksikan film penuh adrenalin nih…^^
Jika di buku pertama, setting cerita lebih banyak berlangsung di dalam komplek H.I.V.E, maka lain halnya dengan di buku kedua ini. Karena H.I.V.E 2: Overlord Protocol menyuguhkan bermacam-macam latar dalam setiap alurnya. Ada di pusat kota, pelabuhan, hutan, gua bawah tanah, hingga apartemen mewah di kota Tokyo. Dan itu semua berada di luar kawasan ‘Gunung Berapi’ tempat H.I.V.E berada. Sehingga imajinasi pembaca tidak lantas terkekang begitu sempit dengan hanya terfokus pada gedung sekolahan. 
Dalam buku kedua ini pula, Mark Walden mengupas lebih banyak sisi-sisi kemanusiaan dari Dr.Nero dan Raven. Menghilangkan kesan ‘penjahat kejam’ yang mulai melekat pada mereka di buku pertama. Sekaligus menjawab rasa penasaran pembaca yang bisa jadi berpikiran semacam ini, ‘Kok bisa para penjahat memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia pendidikan?’ Disamping itu juga memunculkan nilai moral bahwa setiap orang memiliki sisi kebaikan, sekalipun ia seorang penjahat. Yah, mungkin terkesan subjektif. Karena saya akui jika dalam serial H.I.V.E ini saya diharuskan memakai sudut pandang tokoh utama sebagai penjahat, yang mana itu berarti bahwa semua tindak tanduk mereka selalu akan terlihat sebagai suatu kebaikan dalam kacamata pembesar sudut pandang saya. Tapi oke-oke aja sih…
Meski demikian, buku ini tak lantas lepas dari kritik begitu saja. Semenjak serial pertama H.I.V.E saya selalu bertanya-tanya mengapa yang senantiasa ditonjolkan hanya beberapa murid saja? Paling banter hanya Otto, Wing, Laura, Shelby, Nigel, Franz, Block, serta Tackle. Enam diantara mereka berasal dari Program Alpha, sedang Block dan Tackle dari Program Henchman. Dan setahu saya, tidak ada satupun nama murid lainnya yang diungkit selain mereka semenjak buku pertama. Boro-boro siswa Program Politik/Ekonomi bakal diceritakan, lha wong Program Alpha yang memiliki lebih dari 150 pelajar saja banyak yang terlupakan. Padahal H.I.V.E adalah lingkungan persekolahan wajib asrama selama 6 tahun, dimana tentunya sosialisasi merupakan satu kebutuhan lazim bagi setiap penghuninya. Bagaimana mungkin selama setahun, mereka hanya berkenalan dengan 6 hingga 8 orang teman saja?    
Meski serial ini mengambil judul Higher Institute of Villainous Education –yang berarti Sekolah Tinggi Ilmu Kejahatan–, namun cerita yang ditampilkan lebih banyak terfokus pada hal-hal di luar dunia pendidikan. Sentral cerita cenderung ada pada tokoh Otto Malpense, dan bukan sekolahan itu sendiri. Jarang saya dapati, deskripsi mengenai kehidupan normal seorang pelajar. Seperti kondisi kegiatan belajar-mengajar, proses penggarapan berbagai tugas asrama, latihan-latihan pribadi setiap siswa guna mengasah kemampuan mereka masing-masing, dan lain sebagainya. Adanya malah cerita seputar aksi heroik Otto dan kawan-kawannya. Dan parahnya, itu menempati seluruh porsi buku. Disini kita hanya akan disuguhkan berbagai tindakan Otto sebagai pahlawan jenius, dan bukan selaku pelajar biasa. 
Oke, meski demikian, saya tetap berpikir bahwa novel ini begitu luar biasa. 4 dari 5 bintang yang ada. Rekomendasi saya untuk buku kedua serial H.I.V.E ini ialah para pembaca yang haus dengan aksi-aksi menegangkan nan memacu adrenalin. Dengan syarat, mereka sanggup memainkan imajinasi mereka, agar setiap kata-kata yang dibaca bisa ter-visualisai-kan layaknya sebuah film layar lebar. ^^
 









0 komentar:

Posting Komentar