Penulis: Eoin Colfer
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Mei 2005 (Cetakan Dua)
Tebal: 336 Halaman
ISBN: 979-22-0961-1
Harga: Rp 40.000,-
“If I win, I'm a prodigy. If I lose, then I'm crazy. That's the way history is written.”
Rencana Artemis Fowl jelas bukan sembarang rencana. Ia berambisi
untuk memulihkan kembali kejayaan keluarga yang semakin menyusut semenjak
kematian ayahanya. Dan hanya ada satu solusi singkat untuk itu: mencuri. Bukan
sekedar merampok atau mencuri bank biasa. Karena percayalah, itu terlalu mudah
bagi kejeniusan otaknya. Lagipula, hasil ‘pekerjaan’ itu masih terlalu sedikit
untuk bisa menggenapi tujuan Artemis. Tidak, tidak, tidak. Ia akan menyiapkan
rencana yang jauh lebih brilian. Ia berencana mencuri emas kaum peri!
Benarkah kehidupan peri itu nyata adanya? Artemis Fowl terlalu cerdas
untuk sekedar terjebak dalam pertanyaan bodoh semacam itu. Ia dan Butler
–pengawal yang lebih cocok terlihat sebagai ayahnya- telah menginjakkan kaki di
empat benua berbeda demi mengendus informasi terpercaya mengenai keberadaan
para peri. Semua mengecewakan, kecuali satu: Ho Chi Minh City, Vietnam.
Oh kawan, Anda salah besar jika menganggap para peri akan
memberikan begitu saja emas mereka seperti dalam berbagai dongeng klasik.
Nyatanya, peri-peri yang dihadapi Artemis Fowl merupakan sekumpulan masyarakat
berteknologi mutakhir. Peradaban mereka jauh di atas manusia. Mereka berbahaya
dan bersenjata. Dan yang terpenting, mereka bersedia melakukan apa saja untuk
membebaskan kawan mereka yang ditawan oleh Artemis Fowl.
Namun ingat ini baik-baik, Artemis Fowl memang baru berusia 12
tahun. Tapi ia sudah bertekad akan menjadi pencuri emas lintas spesies pertama
yang ada. Dan sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, kegagalan menghalangi
seorang Artemis dari mewujudkan tekadnya itu, sesulit apapun rintangan yang
menghadang. Jadi, siapa yang akan menang? Si manusia jenius atau makhluk
berperadaban mutakhir?
(^^)
Sempurna.
Itu kesan pertama kali yang saya dapati seusai rampung membaca
novel ini. Eoin Colfer berhasil menghadirkan sebuah alur cerita yang menarik
dan di luar dugaan. Kehidupan para peri, yang biasa dikaitkan dengan dongeng
klasik ala Walt Disney, berhasil dipermak menjadi sebuah kaum berperadaban luar
biasa modern. Bahkan jauh meninggalkan peradaban manusia 100 tahun di belakang.
Disebutkan, mereka telah menguasai teknologi dari berbagai senjata yang selama
ini menjadi mimpi penghias tidur manusia. Mulai perisai yang membuat mereka
tersamarkan dari mata telanjang, medan waktu yang sanggup mengisolasi suatu
daerah selama 8 jam, senapan-senapan kejut bertenaga baterai mini nuklir,
hingga bom biologi yang hanya akan membunuh makluk hidup tanpa merusak properti
lain sedikitpun. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang mendambakan
sebuah penyegaran dalam kisah-kisah para peri.
Artemis Fowl, meskipun dimunculkan sebagai tokoh antagonis,
berhasil menjadi pusat cerita yang cukup unik. Bisa dibilang ia meruapakan
versi modern dari Sherlock Holmes dan Profesor Moriety yang digabungkan dalam
satu tubuh. Kejeniusannya membuat ia senantiasa berada satu langkah di depan
lawan. Ibarat permainan catur, maka Artemis Fowl memainkan bidak putih sekaligus
bidak hitam secara bersamaan. Musuhnya –dalam hal ini berarti kaum peri-hanya
bisa mengikuti arus permainan yang telah diprediksi oleh Artemis jauh-jauh
hari.
Namun, satu hal yang saya salut, Eoin Colfer tidak melupakan begitu
saja sisi kanak-kanak dari seorang Artemis Fowl. Sejenius apapun dia, Artemis
tetap saja masih berusia 12 tahun. Ada beberapa bagian di novel ini yang
menunjukkan secara jelas akan hal itu. Seperti saat Artemis merindukan ayahnya
yang tak kunjung ditemukan setelah kecelakaan kapalnya. Atau ketika Artemis
begitu khawatir dengan kondisi ibunya yang semakin labil semenjak sang suami
hilang. Atau pula saat Artemis merasa kesepian akibat kurangnya asupan kasih
sayang dari kedua orang tuanya. Dan masih banyak lagi. Itu semua menumbuhkan
nilai moral bagi pembaca bahwa masa kanak-kanak tetaplah merupakan masa
kanak-kanak. Seberapa kuat, jenius, hebat, kaya seorang anak, tetap saja dia
masih membutuhkan belaian kasih sayang dari orang tuanya. ^^
Semua perpaduan itu –tentunya masih ditambah dengan beberapa aspek
yang tak saya sebutkan secara spesifik di review ini- membuat saya
berani mengatakan bahwa novel ini begitu sempurna. Begitu seimbang. Begitu
menghibur. Sekaligus begitu menegangkan. Five Stars, guys!
0 komentar:
Posting Komentar