Jumat, 11 Juli 2014

[Book Review] H.I.V.E (1): Higher Institute of Villainous Education

Judul: H.I.V.E: Higher Institute of Villainous Education
Penulis: Mark Walden
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Maret 2014 (Cetakan Kedua)
Tebal: 394 Halaman
ISBN: 978-979-433-713-4
 Harga: Rp 59.000,-
Bintang: ★★★★


I'm sure that there must have been times when you have read books or watched films and found yourself secretly wishing for the villain to win. Why? Isn't that against the rules by which our society lives? Why should you feel this way? It's simple, really; the villain is the true hero of these tales, not the well-intentioned moron who somehow foils their diabolical scheme. The villain get's all the best lines, has the best costumes, has unlimited power and wealth- why on earth would anyone not want to be the villain?

Sekolah penjahat? Serius ada, nih? Yup! Higher Institute of Villainous Education (H.I.V.E) adalah sekolah yang khusus diperuntukkan bagi bakat-bakat alami penjahat dunia. Mereka diseleksi dengan sedemikian ketat, lalu dibawa secara paksa (baca: diculik) ke fasilitas H.I.V.E yang terletak dalam sebuah gunung berapi aktif di pulau terpencil di tengah lautan antah-berantah. Disana mereka akan dibekali lebih lanjut dengan berbagai pelatihan yang akan bermanfaat dalam karir kejahatan mereka di masa mendatang. 

Tertarik? Otto Malpense jelas tidak. Dipaksa tinggal selama 6 tahun untuk mempelajari keahlian-keahlian yang telah dikuasai semanjak kecil, jelas merupakan suatu kesia-siaan baginya. Jangan salah, di usia semuda itu, Otto sudah pernah menggulingkan satu pemerintahan sah dengan cara yang tak akan pernah bisa dibayangkan oleh orang dewasa manapun. Dia bukan hanya jenius, melainkan super-super-super-jenius! Otaknya seperti spons yang mampu menyerap berbagai pengetahuan dari buku-buku setebal ratusan halaman secara singkat. Maka, hanya ada satu hal yang dipikirkan Otto semenjak menginjakkan kaki di H.I.V.E: Kabur!
(^^)

Awalnya, saya skeptis dengan buku satu ini. Karena di front cover-nya terpampang tulisan, ‘Hogwarts untuk penjahat…namun tanpa sihir’. Membaca kata ‘Hogwarts’ membuat benak saya terpacu ke kenangan akan Harry Potter series. Jadilah, saya mengira novel ini adalah bacaan yang memanfaatkan ketenaran karya J.K Rowling itu untuk membangun citra di mata pembaca. Eh, ternyata salah besar. *tutup muka pake sarung*

Memang, ada beberapa aspek yang lumayan serupa dengan buku Harry Potter. Dua diantaranya ialah konsep kehidupan Otto dan kawan-kawan yang terfokus di H.I.V.E (kalau Harry di Hogwarts) dan pembagian bakat siswa H.I.V.E yang dibedakan menjadi 4 kelas dari Alpha, Henchman, Teknik, dan Politik/Ekonomi (di Harry Potter juga ada 4: Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin). Namun cuma sampai disitu persamaan diantara keduanya. Selanjutnya, cerita berkembang menurut jalurnya sendiri-sendiri. Harry Potter serius mempersiapkan dirinya guna melawan Voldemort, sedang Otto Malpense fokus pada aksi ‘gila’-nya untuk kabur dari H.I.V.E.

Novel ini termasuk salah satu karya yang mengambil sudut pandang pelaku utama sebagai penjahat. Karena H.I.V.E adalah sekolah para penjahat terbaik di dunia sekaligus komponen dari organisasi kejahatan terbesar di dunia bernama G.L.O.V.E, sedang Otto Malpense merupakan satu bagian dari itu semua. Nah, terkadang di tengah-tengah keasyikan membacanya, saya lantas mencoba mendefinisikan ulang arti dari kata kejahatan. Menilai-nilai apakah yang dilakukan Otto saat memanipulasi beberapa kontraktor demi memperbaiki panti asuhannya termasuk sebuah kejahatan meski bertujuan baik? Menimbang apakah yang dilakukan Dr.Nero dengan mengurung semua siswa selama 6 tahun tanpa diperbolehkan bertemu dengan sanak famili di luar termasuk kebaikan yang dipaksakan atau bukan. Lantas, kabur dari hal semacam itu meski dilandasi dengan tujuan yang kurang tepat (karena Otto merasa bisa melakukan hal-hal yang lebih jahat di luar sana) juga lantas disebut sebagai kejahatan? 

Anggapan seperti di atas tadi menimbulkan warna abu-abu dalam menentukan mana tokoh protagonis dan mana tokoh antagonis. Semua lakon bisa saja menjadi keduanya tergantung dari sudut mana kita menilainya. Otto, meskipun dia lakon utama, bisa berada di pihak jahat saat ia menggulingkan perdana menteri negaranya dengan cara yang bisa dibilang cukup ‘keji’. Sebaliknya, kepedulian dia dalam menyelamatkan sekolah di bagian akhir novel juga dapat menggolongkannya sebagai tokoh protagonis, lho. Demikian pula dengan karakter abu-abu lainnya semacam Raven, Dr.Nero, dll. Bingung? Pastinya. Tapi mustahil Anda akan memikirkan detail semacam ini saat sedang asyik menikmati aliran alurnya, bukan? 

Secara keseluruhan saya tetap senang menikmati cerita dari novel ini, kok. Meski ending-nya sedikit menyimpang dari tujuan Otto semula, tetap saja novel ini berhasil menghadirkan ketegangan-ketegangan yang membuat pembaca semakin antusias. Rekomendasi bagi Anda yang menyukai cerita-cerita melarikan diri dari lokasi berpengaman ketat layaknya film ‘Escape Plan’ baru-baru ini! Empat bintang buat H.I.V.E 1 ini!

0 komentar:

Posting Komentar