Senin, 30 Juni 2014

[Book Review] CODEX: Seberbahaya Apa Makanan Kita?

Judul: Codex
Penulis: Rizki Ridyasmara
Penerbit: Salsabila (Pustaka Kautsar)
Tahun Terbit: Nopember 2010 (Cetakan Kedua)
Tebal: 434 Halaman
ISBN: 978-979-19163-5-6
 Harga: Rp 45.000,-
Bintang: ★★★★


Que sera sera! Apa yang akan terjadi, maka terjadilah!” (hal.60)

Sebuah microchip berisi data-data rahasia milik CIA dan Pentagon menyeret seorang saintis Italia bernama Alda Adriana dalam alur konspirasi yang pelik nan berbahaya. Bersama George Marshall, mantan suami Alda sekaligus pensiunan pasukan elit Australia, keduanya berusaha melarikan diri dari orang-orang yang memburu mereka. Dalam pelarian mereka tersadar bahwa microchip yang mereka bawa bukan sekedar berisi informasi-informasi intelijen biasa. Ternyata, benda tersebut menyembunyikan berbagai kebusukan negara maju yang berusaha meracuni umat manusia secara perlahan melalui perantara makanan yang dikonsumsi. Semua itu dilakukan dengan dalih mengendalikan populasi umat manusia agar senantiasa selaras dengan kapasitas bumi. 

Apa yang dilakukan Alda dan George jelas telah membuat musuh mereka kebakaran jenggot. Pembunuh-pembunuh terbaik dari mafia La Camorra, mafia La Cosa Nostra, hingga CIA, diutus demi merebut kembali microchip tersebut sekaligus memastikan kematian keduanya. Sanggupkah mereka berdua bertahan dari kejaran dan menyebarkan informasi penting itu ke seluruh penjuru dunia? Novel yang akan mengubah pandangan hidup Anda agar lebih sehat dan waspada! 

(^-^) 

Applaus untuk Rizki Ridyasmara! Beliau berhasil mengkolaborasikan secara apik fakta-fakta ilmiah yang ada dan mengemasnya dalam sebuah cerita penuh ketegangan. Perasaan jenuh yang acapkali melingkupi benak saya saat membaca jurnal-jurnal ilmiah menguap begitu saja ketika membaca novel satu ini. Ilmu dapat, hiburan juga dapat. Hehehe….Lumayan, kan?^^

Novel ini memuat berbagai hasil penelitian ilmiah yang sengaja ditutupi dari publik. Karena jelas, industri Amerika dan Eropa bisa bangkrut seketika, apabila informasi se-sensitif itu diketahui masyarakat umum. Seperti, tahukah Anda jika vaksin, obat-obatan medis, pelbagai makanan dan minuman, ternyata disusupi RACUN yang sengaja dibuat untuk membunuh kita? Tahukah Anda, untuk menipu konsumen, MSG punya 20 nama yang berbeda? Atau, tahukah Anda jika virus HIV sengaja diciptakan untuk memusnahkan etnis asli Afrika? Dan masih ada begitu banyak hal-hal mencengangkan lainnya yang diangkat di buku ini. Dijamin membuat mata Anda terbelalak –kecuali jika Anda telah mengetahui terlebih dahulu– saat menyadari betapa mengerikannya bahan-bahan penyusun makanan yang selama ini akrab di keseharian kita. Semua itu dilengkapi dengan sumber-sumber terpecaya yang dapat ditelusuri kebenarannya melalui berbagai catatan kaki yang ada.  

Di samping itu, petualangan Alda dan George selama berada dalam kejaran juga patut untuk diberi applaus. Mulai dari butik-butik di Milan, lalu beranjak ke Kota Terapung Venesia,  kemudian ke villa mewah Profesor Contrado di Parma, hingga ‘pertarungan’ terakhir di San Marino. Semuanya dapat digambarkan dengan begitu jelas. Seakan-akan penulis memang turut terlibat langsung dalam setiap kejadiannya. Belum lagi berbagai rincian senjata-senjata dalam novel yang membantu para pembaca dalam memahami kondisi lapangan di setiap konflik. 

Satu catatan yang agak menganggu benak saya ialah, mengapa chip sepenting itu bisa melanglangbuana dari Langley, markas CIA, hingga sampai ke Italia? Harusnya kan, dokumen sepenting itu tidak diizinkan untuk dibawa keluar kantor. Bagaimana bisa CIA kecolongan dengan sebegitu mudah? Dan bagaimana detail kejadian sesungguhnya yang menimpa pemegang chip sebelum Alda Adriana? 

Pertanyaan di atas memang lumayan mengusik, namun terlepas dari itu, novel ini tetap saja berhasil memukau diri saya dengan berbagai pengetahuan dan petualangannya. Membuka cakrawala wawasan saya tentang betapa nyatanya program de-population manusia yang terjadi di sekitar saya. Juga membantu saya agar lebih berusaha keras dalam menciptakan kehidupan yang sehat sekaligus aman tentunya. Sekali lagi, applaus untuk Rizki Ridyasmara!


0 komentar:

Posting Komentar